Opini – Pandemi covid 19 pada tenggal 11 Maret 2020, semua kementerian membatasi kegiatannya termasuk kegiatan tatap muka di sekolah. Kemendikbud mulai bulan Maret yang lalu mengeluarkan kebijakan belajar dari rumah dan meniadakan pembelajaran tatap muka untuk membatasi penyebaran virus covid 19 di kalangan pendidikan. Namun seiring berjalannya waktu, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru pada awal tahun 2021 tentang prosedur pembelajaran tatap muka. Pemerintah melalui kemendikbud membuka kemungkinan pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021 dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Kebijakan tersebut diambil berdasarkan hasil evaluasi selama penerapan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) sepanjang pandemi Covid-19.
Beberapa kalangan mulai mengkhawatirkan resiko yang mungkin timbulkan oleh pembelajaran daring seperti saat ini. Beberapa risiko diantaranya adalah ancaman putus sekolah, risiko ketidaksetaraan pencapaian pembelajaran anak-anak di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga mencemaskan hilangnya pembelajaran secara berkepanjangan berisiko terhadap pembelajaran jangka panjang, baik kognitif maupun perkembangan karakter. Risiko lain yang diantisipasi adalah tekanan psikososial dan potensi kekerasan dalam rumah tangga. Minimnya interaksi anak-anak dengan guru, teman, dan lingkungan luar dapat menyebabkan tingkat stres dalam rumah tangga, baik orangtua maupun anak-anak. Tanpa sekolah, banyak anak yang terjebak kekerasan di rumah tanpa terdeteksi oleh guru. Oleh karena itu, pemerintah membuka kemungkinan pembelajaran tatap muka mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021 dengan izin dari pemerintah daerah (pemda) setempat. Namun demikian, Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan beberapa faktor dalam pemberitan izin pembelajaran tatap muka di daerahnya. Beberapa pertimbangan tersebut, antara lain tingkat risiko penyebaran Covid-19, kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan, kesiapan satuan pendidikan dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka sesuai daftar periksa. Akses terhadap sumber belajar/kemudahan belajar dari rumah, dan kondisi psikososial peserta didik.
Dalam melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah, ada beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi oleh sekolah yaitu kondisi kelas harus memenuhi jaga jarak minimal 1,5 meter dengan jumlah maksimal peserta didik per ruang kelas yang diperkecil. Jumlah siswa dalam kelas di jenjang Sekolah Luar Biasa (SLB) maksimal 5 peserta didik per kelas dari standar awal 5-8 peserta didik per kelas. Sedangkan, jumlah siswa per kelas di jenjang pendidikan dasar dan menengah maksimal 18 peserta didik dari standar awal 28-36 peserta didik per kelas. Di jenjang PAUD, maksimal 5 peserta didik per kelas dari standar awal 15 peserta didik per kelas. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan jadwal tatap muka yang dilakukan di sekolah. Kondisi seperti ini tentunya menuntut sekolah untuk melakukan penjadwalan terhadap siswa dalam melakukan kegiatan belajar tatap muka di sekolah. Sehingga setiap siswa akan mengalami pembelajaran yang dilakukan secara daring dari rumah dan secara luring di sekolah. Istilah seperti ini lebih dikenal dengan pembelajaran campuran atau blended learning/ hybrid learning. Hybrid Learning mencampurkan program pendidikan formal dan non-formal, penggabungan antara kegiatan pembelajaran tatap muka (face to face classroom method) dengan pembelajaran berbasis teknologi online.
Dari persoalan di atas Kemendikbud memberikan lampu hijau untuk mengadakan pembelajaran tatap muka, muncul berbagai pro dan kontra yang muncul. Dari berbagai macam penelitian mengungkapkan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) dinilai kurang efektif. Karena itu, jika kegiatan dilakukan dengan tatap muka, dikhawatirkan akan menimbulkan cluster Covid-19 baru di lingkungan sekolah. Maka, untuk mengantisipasinya, kegiatan belajar mengajar tersebut dapat diantisipasi dengan metode hybrid learning.
Apa itu Hybrid Learning?
Hybrid learning adalah pendekatan model pendidikan yang menggabungkan pembelajaran online dengan pengajaran di ruang kelas nyata seperti waktu sekolah tatap muka pada umumnya.
Pembelajaran hybrid ini, mengkombinasikan kelas-kelas pembelajaran tatap muka tradisional dengan pembelajaran online berbasis web dan atau pembelajaran yang dimediasi komputer atau smartphone. Skema dan waktu pembelajaran di dalam dan di luar kelas diatur sedemikian rupa agar mendapatkan kelebihan dari masing-masing pembelajaran.
Metode hybrid learning masih terdengar awam di telinga kita. Sebenarnya, hybrid learning merupakan kombinasi antara metode PJJ dengan metode tatap muka. Ini diharapkan agar bisa meminimalisir dampak psikososial siswa.
Implementasi metode ini para pelajar hanya dianjurkan untuk datang dengan kuota 50 persen. Misalnya, jika terdapat 24 mahasiswa di kelas, maka yang diperkenankan mengikuti pembelajaran hanya 12 mahasiswa saja. Sisanya wajib melakukan pembelajaran daring.
Lalu Mengapa Hybrid Learning sebagai solusi tepat untuk perkuliahan 2021?
1. Meningkatkan kemampuan mahasiswa
Penerapan proses pembelajaran hybrid learning diketahui memiliki suatu kemampuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa. Baik kemampuan dalam menerima pembelajaran dan sosialisasi di lingkungan kampus.
Dengan demikian, metode hybrid learning bisa membantu mahasiswa dalam melakukan kegiatan belajar. Jadi, meskipun berada di tengah pandemi, kegiatan tersebut bisa berjalan lancar semestinya.
2. Sangat efektif bagi mahasiswa
Menggunakan teknologi dalam melakukan pembelajaran, metode ini sangat efektif bagi kegiatan belajar mengajar mahasiswa. Bagaimana tidak? Beberapa pembelajaran yang diajarkan melalui daring bisa disimpan dalam bentuk digital. Sehingga mahasiswa bisa mengulang materi di luar perkuliahan.