Opini – Problematika kehidupan masyarakat desa akhir-akhir ini terus dibicarakan secara serius penangananya. Pasal banyaknya keuangan yang dikucurkan ke desa berdampak pada banyaknya pembangunan yang dikerjakan di desa baik itu infrastruktur maupun penguatan kapasitas sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat. Pendekatan pembangunan yang dilakukan di banyak desa dimaksudkan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat desa. Namun tak bisa disangkal bahwa beban kehidupan masyarakat desa tentu memiliki dinamikanya sendiri. Banyak praktek dan pendekatan pembangunan coba membongkar masalah desa justru menjadi momok bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri. Salah satu isu problematika pembangunan adalah Isu daerah pesisir perbatasan. Di kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu dalam wawancara bersama dengan masyarakat di Kecamatan Nangapanda khususnya di desa Tendambepa dan Desa Malawaru, didapati beberapa isu pembangunan yang menurut masyarakat setempat belum diatasi, dari sisi mediasi dengan pengambil kebijakan maupun diantara masyarakat itu sendiri. Dijelaskan bahawa kondisi masyarakat yang memprihatinkan semisal penanganan infrastruktur jalan yang belum tuntas, konflik penggarap lahan dan tuan tanah terlebih pada kebijakan daerah mengenai hewan ternak yang dilepas liarkan begitu saja dengan dalil peningkatan ekonomi masyarakat, hutan yang dijadikan kawasan lindung hak pakai dengan artefat budaya didalamnya, akses dan infrastruktur air, pembakaran lahan produksi, pergeseran tanah dan lain sebagainya. Isu-isu ini menjadi isu sentral yang harus digali lebih dalam kebenarannya. Namun seyogyanya isu ini adalah harapan nyata dari masyarakat kedua desa ini. Mereka mengharapkan bahwa banyak isu pembangunan yang ada ini selayaknya harus cepat ditangani oleh pemerintah dengan kebijakan yang memihak pada kepentingan masyarakat.
Masyarakat desa Tendambepa dan desa Malawaru membutuhkan perhatian yang cukup serius akan masalah-masalah yang sedang mereka hadapi saat ini. Dengan aksesibiltas dan mobilitas rendah baik barang dan jasa tentu membuat mereka merasa terisolir dan menjadi masyarakat yang termajinalkan. Kondisi ini membuat mereka hanya bisa mengantungkan harapan-harapan mereka pada pihak-pihak yang bisa menyuarakan kegelisahan mereka agar bisa diatasi lebih lanjut. Satu harapan mereka adalah agar pemgambil kebijakan bisa berproses bersama mereka terlebih membuat peta permasalahan yang jelas dan bisa digarap kemudian dieksekusi dalam kebijakan yang mengikat. Mereka sangat berharap jika hal ini memungkin bisa diarahkan pada kondisi masyarakat dengan kecemasan-kecemasannya.
Dari beragam persoalan sebagai bagian dari “keluhan” masyarakat setidak bisa ditawarkan beberapa ide pokok demikian. Hal ini dimaksudkan sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat sehingga isu-isu pembangunan tersebut bisa dicermati dalam konteks yang akademis.
1. Pengelolaan kawasan pesisir perbatasan tidak dapat dilakukan hanya terbatas pada teritori kawasan tanpa mempertimbangkan tipologi penggunaan lahan di sekitarnya, interkoneksi, kecepatan perubahan tutupan hutan dan perubahan lahan, penurunan dan kerusakan habitat, perubahan dan dinamika sosial ekonomi, budaya, dan pembangunan secara umum desa-desa dan atau munculnya investasi swasta di daerah penyangganya dan atau pada skala lansekap yang jauh lebih luas. Juga dalam perspektif analisis keruangan daerah aliran sungai, interkoneksitas hulu-hilir.
2. Pengelolaan kawasan konservasi memerlukan dukungan disiplin ilmu yang beragam, pendekatan multipihak, didukung kebijakan yang konsisten dan adaptif oleh pemerintah mulai dari pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa, kampong, dengan pendampingan yang juga konsisten dan tepat sasaran dari NGO, universitas setempat, local champion, para aktivis, dan staf resort yang bergerak dari hulu ke hilir.
3. Tidak ada formula tunggal dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi tata kelolah pesisir perbatasan, baik untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Penyelesaian persoalan antara lain perambahan akibat kemiskinan tidak dapat ditempuh melalui penegakan hukum dan harus dicari cara lain yang lebih tepat dan dapat diterima oleh masyarakat. Penegakan hukum disarankan hanya ditujukan pada aktor intelektual yang selalu memanfaatkan masyarakat miskin yang terpaksa atau dipaksa menggarap lahan di dalam kawasan pesisir perbatasan. Negara hadir, dapat diartikan dalam konteks hal ini. Masyarakat merasakan bahwa mereka diayomi. Diberikan jalan keluar dari masalah riil yang mereka hadapi. Change atau perubahan akibat model pengelolaan kawasan pesisir harus dapat dirasakan oleh masyarakat di lapangan dan bukan hanya ditulis dalam laporan proyek. Output atau outcome seperti inilah yang tidak bisa direkayasa atau dipalsu oleh siapapun, sampai kapanpun.