Ende, gesstur.id – Masyarakat adat Rendu, Ndora dan Lambo yang tengah berjuang mempertahankan tanah adatnya, harus menjadi korban tindakan represif aparat kepolisian dan TNI
Melihat situasi yang terjadi, sejumlah aktivis kemanusiaan yang tergabung dalam koalisi NGO Maumere angkat bicara
Pasalnya, mereka mengutuk keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI terhadap masyarakat adat yang tengah memperjuangkan tanah adatnya yang di rampas oleh negara untuk pembangunan Waduk Lambo, yang katanya Proyek Strategis Nasional (PSN) itu
Kekerasan terhadap masyarakat sipil merupakan tindakan kejahatan, apalagi tindakan itu untuk melindungi salah satu pihak dan membatasi pihak lain, mestinya aparat kepolisian hadir untuk melindungi dan mengayomi masyarakat bukan bertindak sebaliknya
Demikian pernyataan ini disampaikan Antonius Yohanes Bala, SH, selaku koordinator koalisi NGO Maumere melalui rilis resmi yang diterima media ini, minggu 17 Oktober 2021
“Kami koalisi aktivis NGO Maumere mengutuk keras tindakan represif yang dilakukan aparat polres Nagekeo dan Satuan Brimob Polda NTT yang sejak September – Oktober 2021 terhadap mama – mama perempuan adat Rendu, Ndora, dan Lambo di lokasi yang direncanakan untuk pembangunan waduk Lambo,” Ungkap Antonius Yohanis Bala
Dikatakan Antonius perjuangan mama – mama adat di Rendu, Ndora dan Lambo sudah berlangsung sejak tahun 2015 hingga saat ini.
Namun selama itu pula, mama – mama adat Rendu, Ndora dan Lambo selalu menerima kekerasan fisik, intimidasi, hingga kriminalisasi dalam menyampaikan pendapat dan mempertahankan tanah adat mereka
“Apakah ini SOP dari kepolisian atau apakah ini merupakan instruksi dari pimpinan tertinggi kepolisian untuk mengamankan Proyek Strategis Nasional itu” Tanya Antonius
Aparat kepolisian terkesan buta dan menolak untuk memahami eksistensi hak – hak masyarakat adat atas pembangunan. Dengan dalil mengamankan Proyek Strategis Nasional (PSN), mereka telah meletakan keberpihakan bukan pada semua pihak tapi pada Pemrakarsa Proyek yaitu BWS Nusa Tenggara II saja ***