Penulis : Laka Marianus, Sekretaris MPC Pemuda Pancasila Ende
Memasuki tahun politik, hingar bingar Pilkada mulai bergemuruh dari pusat kota sampai ke pelosok desa, sejumlah nama calon Bupati dan Wakil Bupati mulai bermunculan minus anggota DPRD Ende terpilih, 14 Februari lalu.
Dari sejumlah nama yang muncul, sebut saja ada _”Djafar Achmad, Erikos Rede, Lory G. Djou, Don Wangge, Servas Pati, Stef Tani Temu”, dan beberapa nama lain yang tak sempat disebut penulis satu/satu, sekian nama tersebut sudah cukup memantik animo masyarakat bersahut tentang Politik.
Publik menyadari meski dari sejumlah nama – nama yang bermunculan masih banyak minus mahlum secara prestasi kepemimpinan namun demi Kabupaten Ende yang lebih baik untuk masa kini dan akan datang, tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang peka terhadap perubahan, “minusnya dimaklumi saja”.
Kendati belum kerucut, gegap gempita jelang Pilkada kian rame diperbincangkan disejumlah ruang publik, bahkan perbincangan soal Pilkada terhot lebih dominan di sejumlah forum – forum media sosial salah satunya, Facebook.
Berkaca pada era tempo dulu, di zaman kepemimpinan dikala Kota Ende masih lugu era Aerobusman, Winokan, Anis Pake Pani, Eman Gadi Djou, hingga era Frans Gedo Wolo, tercatat berhasil merawat pesta demokrasi Ende dengan indeks prestasi terbaik. Karena era tempo dulu, perang ide dan gagasan jadi tranding topik masyarakat kala itu.
Bahkan era zaman itu, patut diakui wahana demokrasi di Daerah Kabupaten Ende belum separah sekarang, dimana kala itu, hadirnya Komisi Pemilihan Umum menjadi lokus lahirnya forum perdebatan ilmiah untuk beradu gagasan dan ide, demi membangun Ende.
Namun ketika memasuki era kepemimpinan setelah Frans, pesta demokrasi kian melapuk, karena energi keilmiahan publik mulai melemah bahkan meluntur dari brand “Ende sebagai kota embrio pendidikan”
Konkritnya bahwa sejak itu, isu Politik Uang menjadi isu sentral melemahkan kekritisan masyarakat dalam menuai pendidikan politik sebagai referensi dalam memilih. Geser dari situ, Perdebatan gagasan antara para timses pun, mulai ngawur dan berantakan.
Hal tersebut dipicu oleh gagalnya publik terkhusus timses di era trand seperti sekarang dalam memanfaatkan media sosial (medsos), sebagai alat menyampaikan ide dan gagasan.
Menyikapi realita pahit tersebut, tidaklah mengherankan jika keaslian tiap akun facebook dipalsukan hanya untuk menggolkan serantang kepentingan yang bersifat emosional.
Bahkan lebih parahnya medsos digunakan secara brutal oleh setiap timses untuk saling sikut menyikut dan menyenggol hal privat tiap para kandidat, oleh timses (A, B, C dan D).