DaerahMabar

PT Mahanaim Group (Ika Yunita dan Santosa Kadiman) Tahu Persis Tanah yang Dibeli sedang Bersengketa Tapi Diduga Tetap Bohongi Publik

×

PT Mahanaim Group (Ika Yunita dan Santosa Kadiman) Tahu Persis Tanah yang Dibeli sedang Bersengketa Tapi Diduga Tetap Bohongi Publik

Sebarkan artikel ini
Santosa Kadiman dan Sekretaris Pribadinya Ika Yunita/Ket Foto : Nardy Jaya

GESSTUR.ID|LABUAN BAJO, – Kasus sengketa tanah di Karangan, Labuan Bajo, terus bergulir. Tim kuasa hukum ahli waris Ibrahim Hanta, DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H dan Jon Kadis, SH, menyebut bahwa pernyataan dari Ika Yunita selaku Sekertaris pribadi Kadiman Santosa yang merupakan perwakilan dari PT. Mahanaim Group dan juga keluarga Nikolaus Naput dinilai penuh manipulasi.

DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H menegaskan bahwa di balik klaim sebagai pembeli beritikad baik, fakta-fakta hukum justru mengungkap dugaan praktik mafia tanah yang melibatkan mereka.

Pernyataan Ika Yunita yang mengaku sebagai pembeli dan investor beritikad baik yang diberitakan beberapa media online beberapa waktu lalu itu dianggap sebagai upaya manipulatif untuk mengalihkan perhatian publik. Ia dengan tegas membantah klaim ini.

“Jika benar mereka beritikad baik, kenapa tidak memeriksa keabsahan dokumen sebelum membeli? Menggunakan dokumen palsu dan melanjutkan transaksi meski tahu ada sengketa menunjukkan bahwa mereka bukan pembeli yang jujur, melainkan bagian dari skenario besar untuk merebut tanah secara ilegal,” tegasnya

Selain itu, klaim Ika Yunita yang menyebut dirinya sebagai korban justru menjadi bahan pertanyaan. Fakta menunjukkan bahwa pihak keluarga Naput dan Mahanaim Group menggunakan berbagai cara, termasuk manipulasi dokumen dan rekayasa fakta, untuk menguasai tanah secara ilegal.

“Mereka mencoba memainkan peran sebagai korban, padahal semua bukti mengarah pada keterlibatan mereka dalam praktik mafia tanah. Ini adalah bentuk nyata penyerobotan hak atas tanah yang harus ditindak tegas,” tambah Jon Kadis.

Baca Juga:  PLN Bawa UMKM Binaan Pamerkan Produk Pada Pertemuan Sherpa Meeting G20

Ia menyebut bahwa salah satu inti masalah dalam sengketa ini adalah dokumen perolehan tanah adat tertanggal 10 Maret 1990 yang digunakan sebagai dasar penerbitan lima Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama keluarga Naput. Berdasarkan hasil investigasi Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung), dokumen ini dinyatakan cacat administrasi dan yuridis.

“Akar permasalahan sengketa tanah ini bermula dari dokumen perolehan tanah adat tertanggal 10 Maret 1990 seluas 16 hektar, yang menjadi dasar penerbitan lima Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama keluarga Nikolaus Naput,” jelas Jon

Jon mengungkapkan bahwa jika pihak Mahanaim Group, Hotel St. Regis, Ika Yunita, dan Santosa Kadiman mengaku sebagai pembeli dan investor beritikad baik, maka tunjukkan dokumen asli perolehan tanah adat tanggal 10 Maret 1990.

“Dokumen ini menjadi dasar utama klaim mereka, tetapi hingga saat ini yang ditunjukkan hanya fotokopi. Keaslian dokumen ini harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum membahas hal lainnya. Ya kalaupun ada aslinya juga namun lokasi tanahnya bukan berada di lokasi 11 hektar milik ahli waris Ibrahim Hanta karena hasil temuan Satgas Mafia Tanah Kejagung itu SHM-SHM yang diterbitkan oleh BPN Manggarai Barat salah ploting,” tegas Jon Kadis.

Baca Juga:  Warning: What Can You Do About Movie Right Now

*Hasil Pemeriksaan Kejagung: Bukti Kuat yang Tidak Bisa Dikesampingkan*

Tim kuasa hukum juga menyoroti hasil pemeriksaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) yang menyatakan bahwa kelima SHM tersebut cacat administrasi, cacat yuridis, dan tidak memiliki alas hak yang sah.

“Temuan Kejagung sudah sangat jelas. Dokumen tanggal 10 Maret 1990 dinyatakan sebagai dokumen yang tidak benar, sehingga penerbitan lima SHM atas dasar dokumen tersebut juga tidak sah. Kejagung bahkan telah memeriksa pihak-pihak terkait, termasuk Santosa Kadiman dan Paulus Naput. Anehnya, pihak-pihak ini justru mencoba membantah temuan ini dan mengabaikan fakta hukum,” ujar Jon Kadis.

Ia juga menekankan bahwa ahli waris Ibrahim Hanta tidak pernah menjual tanah tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada siapapun, termasuk Muhamad Rudini, Nadi Ibrahim, Ibrahim Abraham Hantan, atau Suwandi Ibrahim.

Jon Kadis mempertanyakan mengapa pihak pembeli, seperti Hotel St. Regis, Ika Yunita, dan Santosa Kadiman, tidak pernah melaporkan keluarga NN sebagai penjual jika memang ada keraguan terhadap keabsahan dokumen tanah.

“Jika mereka benar-benar beritikad baik, mengapa tidak melaporkan penjual yang memberikan dokumen yang tidak jelas? Ini justru mengindikasikan adanya kesengkongkolan sejak awal untuk menguasai tanah yang bukan milik mereka,” kata Jon Kadis.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo, Jon Kadis menyoroti poin keempat yang menyatakan bahwa ada salah ploting dan salah lokasi pada kelima SHM keluarga NN.

Baca Juga:  Bank NTT Teken PKS Dengan Kadin Ende, Bupati Djafar Minta Kadin Bentuk Forum ABG

“Putusan ini semakin memperjelas bahwa dokumen SHM tersebut tidak sah, karena didasarkan pada surat perolehan tanah adat yang cacat hukum. Bahkan hasil pemeriksaan Kejagung menunjukkan bahwa dokumen tersebut adalah dokumen yang diduga palsu. Oleh sebab itu, kelima SHM itu dinyatakan tidak sah secara hukum,” ungkapnya.

Jon Kadis menegaskan bahwa penyelesaian kasus ini tidak bisa dilakukan dengan mengalihkan isu atau memutarbalikkan fakta. Fokus harus kembali pada dokumen perolehan tanah adat tanggal 10 Maret 1990.

“Jika pihak keluarga Niko Naput, Mahanaim Group, Hotel St. Regis, Santosa Kadiman atau Ika Yunita benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini secara sportif dan jujur, tunjukkan dokumen asli perolehan tanah adat tersebut. Jangan hanya berbicara tentang pembatalan atau mengalihkan isu ke hal lain. Inti permasalahannya adalah dokumen ini. Keaslian dokumen ini adalah kunci utama,” pungkasnya.

Ahli waris Ibrahim Hanta menyerukan kepada aparat penegak hukum untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap praktik mafia tanah yang melibatkan Mahanaim Group dan keluarga Naput.

“Ini bukan hanya soal tanah, tetapi soal keadilan bagi masyarakat Labuan Bajo yang sering menjadi korban praktik mafia tanah. Penegakan hukum harus menjadi prioritas untuk mengungkap siapa dalang sebenarnya di balik kasus ini,” tutup Jon Kadis.