Jakarta, gesstur.id – Sekretaris Jendral (Sekjan) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi mengecam tindakan kekerasan dan intimidasi aparat Brimob terhadap Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo dalam perjuangannya mempertahankan tanah ulayat untuk tidak dibangunkan waduk Lambo di atas tanah ulayat mereka.
Pernyataan tegas ini disampaikan Sekjen Rukka Sombolinggi melalui pesan whatsappnya hari ini Jumat (08/10/2021) dalam menanggapi situasi terkini yang terjadi di Komunitas Adat Rendu, Ndora dan Lambo.
Rukka Sombolinggi mengatakan sikap arogansi aparat Brimob yang memborgol tangan seorang ibu dalam aksi penghadangan di pintu masuk menuju lokasi kebun Masyarakat Adat di Rendu Butowe merupakan tindakan kekerasan dalam upaya mengkriminalisasi Masyarakat Adat yang tengah berjuang mempertahankan hak – hak kontitusi mereka.
Sekjen Rukka melanjutkan intimidasi dan bentuk kekerasan apa pun yang dilakukan pemerintah maupun aparat kepolisian terhadap Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo dalam memuluskan pembangunan waduk Lambo tidak dibenarkan karena sangat merugikan Masyarakat Adat yang tinggal di wilayah itu.
“Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo bukan musuh yang mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban negara sehingga aparat kepolisian harus menangkap dan memborgol mereka. Semestinya polisi melakukan pendekatan yang humanis untuk meredam situasi dan mendapat simpati dari masyarakat,” Ungkap Rukka Sombolinggi
Orang nomor satu di organisasi AMAN ini sangat menyayangkan sikap aparat Brimob yang tidak mampu menahan diri dan mengontrol emosi dalam menjaga keamanan dan ketertiban situasi lapangan padahal yang mereka hadapi dan mereka jaga adalah masyarakat sipil yang tidak melakukan tindakan merongrong Pancasila ataupun mengancam stabilitas keamanan negara.
Pihaknya mendesak Kapolri untuk segera menertibkan dan menarik kembali pasukan aparat kepolisian yang saat ini sedang berada di Rendu, Ndora dan Lambo karena kehadiran aparat kepolisian di daerah ini sangat mengganggu kenyamanan Masyarakat Adat dalam melakukan aktivitas hariannya.
“AMAN secara organisasi meminta Kapolri untuk menertibkan aparat kepolisian yang ada di tanah Rendu, Ndora dan Lambo agar masyarakat adat kembali beraktivitas sediakalanya,” tutur Rukka.
Sementara itu Hermina Mawa, korban pemborgolan aparat Brimob dalam aksi penghadangan di pintu masuk lokasi Lowo Se mengatakan pemborgolan terhadap dirinya terjadi ketika dirinya dan mama – mama menghadang BWS dan timnya yang hendak pulang dari lokasi Lowo Se melakukan survey di lokasi itu.
Menurut Hermina Mawa, penghadangan itu terjadi karena ulah BWS bersama timnya menerobos masuk ke lokasi Lowo Se melakukan aktivitas survey dan pengukuran tanah milik Masyarakat Adat tanpa mendapat izin dari Masyarakat Adat pemilik lahan.
“Mereka datang bagai pencuri yang hendak merampok dan merampas tanah kami sehingga kami tahan mereka untuk meminta mereka mempertanggungjawabkan perbuatan mereka,” tutur Hermina Mawa.
Hermina Mawa yang akrab disapa Mama Mince menyebutkan kriminalisasi dan kekerasan yang dilakukan aparat Brimob terhadap dirinya adalah pelanggaran terhadap hak azasinya sebagai masyarakat sipil yang sedang berjuang untuk mempertahankan tanah ulayatnya.
Polisi lanjut Mama Mince seharusnya menjadi alat negara yang hadir untuk melindungi, mengayomi dan menghormati hak – hak masyarakat sipil yang ada di lapangan. Dan polisi seharusnya menegakkan SOP Kepolisian dalam menjalankan tugas di lapangan dengan pendekatan sosial humanis agar masyarakat tidak menilai buruk terhadap kinerjanya.
“Peristiwa pemborgolan terhadap saya ini sesungguhnya mencoreng nama baik kepolisian dan menunjukan betapa tidak profesionalnya aparat kepolisian dalam menangani persoalan masyarakat sipil di lapangan,” ucap Mama Mince.
Dirinya berharap Kapolda NTT segera menarik aparat kepolisian dan Brimob dari Rendu, Ndora dan Lambo dan memberi peringatan keras terhadap oknum Brimob yang melakukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap dirinya dan Masyarakat Adat lainnya.