Jakarta, Gesstur.ID – YLBHI bersama 75 Pegawai KPK nonaktif, telah menyampaikan Laporan atau Pengaduan tentang dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pimpinan KPK terkait 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan pasca tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Senin, 24 Mei 2021, di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.
Dalam laporan itu, YLBHI dan 75 Pegawai KPK nonaktif, telah merumuskan ada 8 (delapan) poin yang dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM berupa pembatasan HAM, yang diduga telah dilakukan oleh Pimpinan KPK, Firli Bahuri dkk. terkait penonaktifan 75 Pegawai KPK yang tidak lulus TWK, yang saat ini jadi perbincangan publik.
Langkah YLBHI patut disesalkan, karena YLBHI, justru terjebak sebagai “sutradara” sedangkan 75 Pegawai KPK nonaktif sebagai “aktor” dalam dramaturgi politisasi hukum, karena apa yang dilakukan YLBHI tidak “conform” dengan visi dan misi YLBHI sebagai lokomotif Demokrasi dan Ham, karena YLBHI mengesampingkan konstitusinalitas “pembatasan HAM” yang dipersoalkan 75 Pegawai nonaktif KPKl (pasal 28J UUD 45) sebagai pelanggaran Ham.
DRAMATURGI YLBHI DAN KOMNAS HAM
Sebagai “lokomotif demokrasi dan HAM”, maka langkah Asfinawati membawa YLBHI dalam kasus penonaktifan 75 Pegawai KPK ke Komnas HAM dengan dasar terjadi Pembatasan HAM, jelas hanya sebagai dramaturgi dan langkah sesat. YLBHI seharusnya tahu bahwa prinsip negara hukum yang demokratis dimanapun adalah “setiap warga negara harus tunduk pada pembatasan HAM oleh UU demi menjamin HAM orang lain.
Artinya tidak ada seorangpun warga negara, dapat seenaknya menggunakan 100% HAM-nya, melainkan ia harus tunduk pada pembatasan Ham oleh UUD 45 dan UU. Konstitusionalitas Pembatasan HAM seseorang diatur dalam pasal 28J UUD 45, dengan tujuan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Untuk itu Firli Bahuri dkk. tidak serta merta melakukan penonaktifan terhadap 75 Pegawai KPK nonaktif, melainkan harus menunggu 2 tahun membenahi Pegawai KPK sesuai ketentuan peralihan UU KPK. Oleh karena itu sikap cengeng 75 Pegawai KPK nonaktif, karena tidak lolos TWK, sebagai fenomena yang aneh, apalagi membiarkan dirinya dipolitisasi dan dijadikan sebagai alat bargaining oknum-oknum tertentu, seolah-olah negeri ini tidak ada hukum. Ini menjadi preseden buruk dalam tatakelola Pemerintahan.