DELAPAN POINT FIKSI PELANGGARAN HAM.
Dramaturgi YLBHI membawa kasus 75 Pegawai KPK nonaktif ke Komnas Ham, patut disesalkan, karena YLBHI mau saja diperalat atau ditunggangi oleh 75 Pegawai KPK nonaktif atau sebaliknya YLBHI mau saja mengatasnamakan HAM, menunggangi 75 Pegawai KPK nonaktif, dengan 8 point fiksi yang diklaim sebagai Pelanggaran Ham.
Apa yang dilakukan Firli Bahuri dkk. sebagai konsekuensi logis dari perintah UU No. 19 Tahun 2019, Tentang KPK pasca uji materiil UU KPK oleh MK. Karena itu sikap YLBHI, harus dipandang sebagai telah keluar dari visi dan misi besar YLBHI, mengabaikan aspek Edukasi. YLBHI justru mengedepankan isu-isu fiksi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran serta memelintir substansi HAM ke publik, demi mempertahankkan statusquo di KPK.
Lebih janggal, YLBHI bersikap ambivalen, di satu sisi menyatakan adanya pelanggaran terhadap hak untuk berserikat, berkumpul, mengemukakan pendapat dll. terhadap 75 Pegawai KPK non aktif, tetapi pada bagian lain pernyataannya, justru YLBHI mengungkap bagaimana 75 Pegawai KPK nonaktif, leluasa menandatangani petisi menolak Firli Bahuri menjadi Ketua KPK, melakukan perlawanan secara terbuka terhadap kebijakan Pimpinan KPK, mengajukan uji materiil UU KPK ke MK dll. tanpa Firli Bahuri dkk melarangnya.
Ini realitas bahwa di era Firli Bahuri-pun seluruh Pegawai KPK tetap mendapatkan kebebasan berekspresi, melawan kebijakan Pimpinan KPK, dan kebebasan ikut serta sebagai Pemohon Uji Materiil UU KPK ke MK. Ini ciri kepemimpinan Firli Bahuri yang sangat demokratis yang tidak ditemukan pada pada Institusi Negara manapun di negeri ini, dengan menyerahkan persoalan pengalihan Pegawai KPK pada mekanisme UU KPK dan UU ASN.
Petrus Selestinus, Koordinator TPDI dan Advokat Peradi