Dari fakta hukum ini, di satu sisi, menjadi tugas pers dan media, termasuk masyarakat madani (civil society) untuk mengawal kasus ini guna memperoleh titik terang di balik pat gulipat penggunaan dana KONI. Di sisi lain, perlu disikapi dengan hati-hati, agar tidak terjadi apa yang disebut sebagai “trial by the press” atau “trial by mass”, yakni bahwa orang telah terlebih dahulu dinyatakan sebagai pihak yang bersalah telah menggarong dana negara (korupsi) demi kepentingan diri atau kelompoknya. Trial by the press dipahami sebagai suatu pemberitaan yang dianggap menyudutkan salah satu pihak sebagai pelaku (korupsi) sebelum putusan pengadilan. Begitu pula Trial by mass, yakni suatu anggapan bahwa orang yang disebut-sebut oleh media sebagai pelaku (korupsi) sebelum putusan pengadilan. Keduanya, trial by the press” dan “trial by mass” saling berkelindan, dan merupakan suatu pola pikir dan pola tindakan yang berbahaya dalam proses penegakan hukum, termasuk di bidang korupsi.
Dalam kasus dana KONI Ende, para saksi yang telah diperiksa wajib dilindungi hak asasinya selama proses penyelidikan berlangsung. Pada satu sisi, seorang Fransiskus Taso, Ketua DPRD Kabupaten Ende, telah diambil keterangannya sebagai saksi. Mengingat semua orang sama di hadapan hukum. Namun di sisi lain, jika ternyata peristiwa ini tidak merupakan tindak pidana, melainkan bagian dari hukum administrasi, ataupun kekurangan bukti (tidak terdapat dua alat bukti), maka penyelidik/penyidik Polres Ende wajib menghentikan proses penyelidikan, demi menghormati hak asasi para pihak, terlebih para saksi yang telah dipanggil. Mengingat pembiaran dan penggantungan status seseorang, meskipun baru sebatas saksi, sudah tentu melanggar hak asasinya. Terlebih lagi, agar tidak menjadi bahan bancakan menjelang Pilkada Ende 2024 ini.
Sebagai penutup, berikut pernyataan seorang Prof. Romli Atmasasmita, guru besar ilmu pidana UI, yang meminjam penegasan dari Herbert L. Packer, sebagai berikut: “Keberadaan sanksi pidana (criminal sanction) adalah mutlak, namun sekaligus merupakan “pisau yang bermata dua” sehingga penggunaannya harus dibatasi oleh kegunaannya yang menjadi tujuan (ends)dari sanksi pidana tersebut (means)”.