KupangSeputar NTT

Refleksi Ekologis di HUT RI ke-78: Jalan Panjang Perjuangan Masyarakat Adat di NTT

×

Refleksi Ekologis di HUT RI ke-78: Jalan Panjang Perjuangan Masyarakat Adat di NTT

Sebarkan artikel ini
Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Aktivis Walhi NTT

Kebijakan nasional ini kemudian berdampak langsung pada kehidupan masyarakat adat dan kelestarian alam NTT.

Kasus agraria dan perdagangan orang NTT, juga terus melonjak drastis setiap tahunnya, karena pembangunan yang terus menguras kekayaan alam dan wilayah kelola rakyat.

“Dari sini sangat terlihat kalau negara dalam kaca mata pembangunannya, selalu menghitung apa yang akan negara dapatkan, tetapi tidak pernah menghitung apa yang akan hilang akibat dari pembangunan tersebut,” ungkapnya.

Tak hanya itu, kata dia, negara dalam orientasi pembangunannya juga mengubah masyarakat adat sebagai pemilik menjadi pekerja dan mengubah produsen menjadi konsumen atas kekayaannya sendiri.

“Hal ini terlihat dengan jelas dari konteks persoalan masyarakat adat yang sampai saat ini marak terjadi di NTT. Misalnya, konteks perjuangan masyarakat adat di Hutan Pubabu Besipae, di Kabupaten TTS yang mengambil langkah melawan pemerintah provinsi NTT dalam mempertahankan hutan Pubabu, hingga salah satu masyarakat adatnya Nikodemus Manao dikriminalisasi,” tandasnya.

Baca Juga:  Relawan Ganjar Pranowo Sikka NTT, Deklarasi Dukung Ganjar Presiden RI 2024-2029

Selain Besipae, komunitas masyarakat adat lainnya yang sedang melawan juga ada di Poco Leok, Kabupaten Manggarai. Saat ini, mereka tengah berjuang melawan rencana pembangunan Geothermal, yang merupakan perluasan dari PLTU Ulumbu.

Perjuangan yang sama juga masih dilakukan oleh masyarakat adat Nunang, Sano Nggoang, Manggarai Barat yang saat ini juga tengah terancam rencana eksploitasi Geothermal Wae Sano.

Ada juga konflik masyarakat adat di Lambo Nagekeo dalam melawan pembangunan waduk Lambo.

Konflik masyarakat adat di pesisir Sumba Barat yang mengakibatkan seorang petani Porno Duka harus meninggal, setelah peluru dari senjata aparat kepolisian bersarang di tubuhnya.

Perjuangan masyarakat adat juga masih terjadi di Kolhua, Kota Kupang yang sampai hari ini berjuang mempertahankan hutan Kolhua. Hutan satu-satunya yang menjadi paru-paru Kota Kupang, agar tidak digusur untuk pembangunan bendungan.

Selain masalah pembangunan yang merusak lingkungan hidup dan mengancam keberadaan masyarakat adat, NTT saat ini, terang Umbu Wulang juga menjadi daerah darurat perdagangan orang.

Baca Juga:  Dalam Rangka Kunjungan Presiden RI ke Kabupaten Ende, Tiga Situs Bersejarah Di kota Ende Di Tata

Begitu banyak orang NTT yang menjadi korban perdagangan orang dengan modus perekrutan TKI dan TKW dengan upah layak. Tetapi dokumen pribadi dan keberangkatan mereka dipalsukan, sehingga keberadaan mereka di luar negeri terlepas dari pengawasan negara.

“Akibatnya, selama bekerja di luar negeri, mereka cenderung dieksploitasi, upahnya tidak dibayar karena sudah dibayarkan ke Calo yang merekrut mereka. Bahkan, kasarnya mereka diperbudak oleh sang Majikan. Selama bekerja, mereka juga kerap mendapatkan kekerasan dari berbagai segi. Bahkan ada yang menjadi korban kekerasan seksual,” ungkap Umbu.

Kalau dicermati, kata Umbu, salah satu alasan terkuat mengapa orang NTT merantau meski cenderung menjadi korban perdagangan orang, dengan modus perekrutan TKI/TKW ialah karena tanah yang mestinya mereka garap untuk menghidupi kehidupan mereka, dirampas negara atas nama pembangunan.

Baca Juga:  PLN Bantu Sambungkan Listrik Baru Bagi Warga Tidak Mampu Sebanyak 3.511 Di Wilayah NTT

“Mata air dan sungai yang harusnya mengalirkan air ke sawah dan kebun warga, menjadi kering, karena proyek-proyek negara yang menggusur hutan. Dengan kondisi yang kian marak ini, masyarakat NTT terpaksa tidak punya pilihan lain, selain menjadi pekerja migran di luar negeri, meski menempuh jalur non prosedural,” jelas Umbu Wulang.

Hingga saat ini data Jaringan Cargo sejak Januari hingga Agustus 2023, menunjukan sudah 87 jenazah Pekerja Migram Indonesia (PMI) asal NTT yang sudah dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia.

Realitas ini telah menunjukkan bahwa pembangunan di negeri ini, tidak hanya berorientasi pada kesejahteraan rakyat, tetapi juga berdampak pada terbunuhnya kemanusiaan.

“Jadi, memang tidak ada pengorbanan akan pembangunan seharga nyawa. Tetapi masyarakat adat NTT mengalaminya. Mereka terasingkan di atas tanahnya sendiri,” ungkap Calon DPD dari NTT yang setia berada di garis perjuangan melawan untuk menjaga alam dan tanah adat NTT ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *