Kupang, gesstur.id – Sebagai negara agraris dan kepulauan, Indonesia makin tidak diuntungkan dari dampak perubahan iklim ekstrem.
Stephen Waking pernah mengatakan, umat manusia akan mengubah planet Bumi menjadi planet merah pada tahun 2600 akibat overpopulasi dan konsumsi energi. Sehingga, Bumi pun menjadi tak lagi ditinggali. (detikedu).
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofiski memperdiksi es di puncak Jayawijaya Papua punah pada tahun 2025, kondisi ini merupakan dampak perubahan iklim hinga es terus menyusut. Pucak Jayawijaya berada pada ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl). Puncak tertinggi ini terletak di Kawasan pegunungan Jayawijaya yang terkenal dengan salju abadinya.
Senada dengan temuan para ilmuwan tepatnya di 18 Maret 2022, terjadi kenaikan suhu di Kawasan Penelitian Concordia yang ada di Antartika. Di sana suhu menghangat 70 derajat Fahrenheit. Kenaikan suhu yang ekstrem di Antartika akan terjadi dampak panjang, jika hal ini terus terjadi. Lapisan es yang luasnya serupa Los Angles bisa mencair di Kawasan tersebut.
Akibat kenaikan temparatur tersebut, suhu yang tercatat waktu itu mencapai 11,3 derajat Fahrenheit atau minus 11,5 Celcius.
Peristiwa ini bukan hal biasa, para peneliti terkejut dengan cuaca hangat yang terjadi. Baca: Lapisan es di benua Antartika mencair
Mencermati situasi ini, bagaimana Indonesia menyikapi perubahan iklim eksterm ini ?
Direktur Jendral Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi menyebut para delegasi G20 mendukung elemen diskusi dalam Planary G20 Environment Deputie Meeting and Climate Sustainability Working Group (1 st EDM-CSWG).
Dalam beberapa penjelasan tersebut diungkapkan tujuh isu prioritas yang dibahas. Adapun isu tersebut diantaranya land degredation (kerusakan lahan), kehilangan keanekaragaman (biodefersity los, sampah laut ( marine liter), pengelolaan air (water), konsumsi berkelanjutan dan efesiensi sumber daya, serta perlindungan laut.
Lanjut, Menteri KLHK Siti Nurbaya menekankan untuk upaya pengurangan emisi karbon secara kolektif melalui aksi percepatan dan implementasi langkah-langkah mitigasi domestic, serta peran penting untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan alam dan ekosistem dalam memberikan manfaat untuk adaptasi perlindungan sosial dan lingkungan. (detiknews)
Sekjen PBB Antonio Guteres memberikan peringatan “Kode Merah” bagi umat manusia akibat terus bertambahnya emisi korbon dioksida di mana suhu Bumi saat ini mencapai 1,1 derajat Celsius. Sayangnya kondisi hutan di Indonesia terus berkurang menjadi wilayah tambang, perkebunan kelapa sawit. Data IPBES 2018 setiap tahun Indonesia kehilangan 650 ribu hektar hutan yang merupakan terbesar di Asia Tenggara
Peningkatan suhu Bumi 1,1 derajat Celsius keliahatanya angka yang kecil. Namun kalau berkaitan dengan suhu Bumi, efek yang ditimbulkan sangatlah besar dan destruktif. Kita bisa melihat di tahun 2021 siklon tropis mulai menerpa wilayah-wilayah di Indonesia salah satunya Provinsi Nusa Tenggara Timur paling merasakan dampak dari adanya perubahan iklim eksterm. Banjir bandang, tanah longsor, kemarau panjang merupakan fenomena perubahan iklim ekstrem.
Penegasan ini pula diutarakan dalam peringatan Dini- Big Data, Pesiden Joko Widodo menekankan adanya mitigasi dan formula adpatasi terhadap perubahan iklim. Perlu disiapkan system edukasi kebencanaan., dengan adanya edukasi dan literasi masyarakat bisa melakukan edukasi dan mampu melakukan respon cepat.
Bagaimana Kondisi Lingkungan Hidup di NTT ? Kondisi Lingkungan hidup di Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam keadaan yang sangat mengkhawtirkan. Hutan Bowosie di kabupaten Manggarai Barat masih terus mengalami eksploitasi dan penghancuran oleh koorporasi yang melakukan alih fungsi lahan skala besar untuk kepentingan industry ekstraktif.
Kondisi ini di perparah dengan arah kebijakan pemerintah yang cenderung menguntungkan koorporasi dan membahayakan masa depan lingkungan hidup.
Demikain juga yang terjadi di kabupaten Sumba Timur sejak adanya investasi perkebunan tebu skala besar oleh PT. Muria Sumba Manis telah banyak menghancurkan hutan dan sumber mata air yang menjadi tumpuan hidup dan pertanian masyarakat di bagian hilir. Dampak yang pernah dirasakan adalah banjir bandang yang merendam pemukimana dan lahan pertanian masyarakat akibat pembangunan yang mengabaikan daya dukung dan tampung lingkungan.
Pemerintah di NTT Belum Serius Mengatasi Krisis Iklim ?
Keseriusan pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim di nilai belum memberikan kontribusi yang baik dalam melindungi warga dari ancaman bencana yang datang. Ini dapat dilihat bahwa berbagai kebijakan pembangunan masih berorientasi pada pola “penghancuran sumber daya alam” seperti alih fungsi hutan menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan skala besar yang dapat disimpulkan memberikan dampak negative terhadap daya dukung lingkungan, selain itu kebijakan di sektor lingkungan hidup masih belum dijalankan dengan baik.
Pemanfaatan sumber daya alam lebih besar ketimbang proses pemulihannya. Dari tahun ke tahun langkah yang dilakukan pemerintah saat bencana dan pasca bencana hanya mampu memberikan bantuan selebihnya pada urusan adaptasi dan mitigasi masih belum berdampak baik di level bawah. Pola penanganan masalah perubahan iklim dan bencana harus dimulai dari hulu yaitu kebijakan, penguatan kapasitas masyarakat, pendampigan, pelatihan serta edukasi dan literasi akan dampak krisis iklim.
Sejauh ini system adapatsi dan mitigasi belum memberikan dampak yang begitu baik, hal ini terbentur dengan keserIusan pengambil kebijakan dalam penanggulangan risiko bencana di NTT. Selain itu kebijakan pembangunan di NTT yang mengabaikan daya dukung dan tampung lingkungan hidup justru membantu mempercepat krisis iklim dan menciptakan bencana alam.
Data BMKG memperlihatkan sepanjang 2021 telah terjadi 3.116 bencana yang didominasi oleh Hidrometeorologi, beberapa di antaranya seperti banir 1.310 kasus, cuaca ekstrem 815 kasus, dan tanah longsor sebanyak 633 kejadian.
Indikator ini bisa dilihat dari banyaknya kasus alih fungsi lahan untuk pembanguanan investasi baik itu di sektor pariwisata, pertambangan dan perkebunan. Di awal April tahun 2021 kita diperhadapkan pada badai siklon tropis yang melanda wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Akibatnya banyak kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat dari perubahan iklim tersebut. Bukan saja pada persoalan infrastrukur yang rusak tetapi lebih dari itu merusak segala sendi kehidupan manusia seperti krisis air bersih dan pangan menjadi dampak lanjut dari bencana seroja di NTT hinggga saat ini.
Memperingatai Satu Tahun Badai Seroja di NTT
Pada 5 April 2021, siklon tropis atau badai seroja telah mengakibatkan cuaca ekstrem berdampak bencana hidrometeorologi yang mengucang wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Akibat cuaca ekstrem tersebut terjadi banjir bandang, tanah longsor serta angin kencang di 21 kabupaten/kota di wilayah NTT.
Fenomena seroja yang terjadi karena adanya dampak dari peruabahn iklim global, kita ketahui bahwa mencairnya es di benua antartika akibat dari kegiatan manusia yang tidak menjaga keseimbangan ekosistem menjadi salah satu peyebab berbagai bencana di belahan dunia.
Pasca seroja di NTT banyak pihak sudah melakukan upaya pemulihan baik itu pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan komunitas. Ini sebagai upaya memulihkan korban bencana alam dalam mendapatkan berbagai kebutuhan seperti sandang, papan dan pangan. Di sisi lain jika kita mencermati siklus seroja yang melanda wilayah NTT tentu kita berharap upaya pemerintah lebih serius dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di wilayah-wilayah yang rentan terhadap bencana dan perubahan iklim hal ini untuk mengurangi risiko dampaknya, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memberikan pendidikan kritis terkait dengan linggkungan hidup, selain itu juga perlu dilakukan pelatihan-pelatihan bagi warga sebagai upaya penguatan kapasitas respon bencana.
Rekomendasi WALHI NTT :
Mementum satu tahun Seroja, WALHI NTT merekomendasikan beberapa poin kepada pemerintah di NTT diantaranya :
Pertama
Pemerintah perlu menetapakan momentum badai Seroja yang melanda NTT sebagai “Hari Bencana” hal ini bertujuan untuk selalu mengingkatkan kita semua agar lebih memperkuat system respon adaptasi dan mitigasi dan risiko bencana
Kedua
Perlu adanya penguatatan system informasi dan edukasi secara berkala dari pemerintah terkait dengan mitigasi dan adpatasi perubahan iklim dalam rangka meminimalisir risiko bencana
Ketiga
Adanya peta rawan bencana di wilayah NTT hal ini bertujuan agar dalam penanggulangan bencana di wilayah yang rentan bencana dapat diantisipasi secara dini
Keempat
Adanya kebijakan konservasi Kawasan pesisir untuk mengurangi dampak kenaikan air laut terhadap masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Kelima
Adanya konsep atau rumusana kebijakan terkait dengan pembangunan yang berkeadilan iklim sesuai dengan nilai dan kearifan lokal masyarakat di NTT.
Keenam
Membentuk forum respon multistakeholder yang dapat merespon secara cepat dan tepat dalam memberikan informasi kepada masyarakat di setiap kabupaten/kota di wilayah NTT.
Pemerintah di NTT harus lebih sigap dalam menghadapi bencana alam dengan membangun system adptasi dan mitigasi yang kuat di level pemerintahan kabupaten/kota dan desa.
Ketujuh
Pemerintah di NTT harus serius melakukan pemulihan pasca badai Seroja di NTT
Kedelapan
Mencegah adanya pembangunan yang tidak peka kebencanaan mengingat NTT adalah provinsi kepulauan dengan tingkat kerentanan bencana tinggi terutama bencana alam
Kesembilan
Melakukan Pendidikan kebencanaan dan dampaknya secara berkala di wilayah NTT terutama wilayah yang rentan terhadap bencana
Deddy F. Holo
Contac Person : 082145183780)
Koordinator Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan WALHI NTT