Ende, gesstur.id – Sebagaimana kita tahu bahwa Tanah Moni yang dikenal dengan nama Tanah “Detukombo” tanggal 26 Januari 2022 telah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Ende. Namun, sayangnya eksekusi tersebut dilakukan tidak prosedural dan cacat hukum. Hal ini disampaikan Kuasa Hukum Termohon Eksekusi Yosef B Badeoda, dalam pers release, sabtu 29 januari 2022
Menurutnya pelaksanaan eksekusi dilakukan tidak sesuai aturan yang berlaku. Semestinya Termohon Eksekusi dipanggil atau ditegur secara patut (aanmaning) dan bila tidak sukarela untuk mengosongkan, maka Pengadilan akan menerbitkan Penetapan Eksekusi untuk menjalankan eksekusi. Bila penetapan eksekusi diterbitkan maka pihak Termohon Eksekusi atau pihak lain dapat mengajukan Upaya Bantahan/Perlawanan terhadap penetapan tersebut.
“Ini adalah bentuk keadilan bagi semua pihak termasuk pihak Termohon Eksekusi. Faktanya, ternyata tidak ada surat teguran (aanmanning) dan Penetapan Eksekusi ditetapkan tanggal 26 Januari 2022 sekaligus pelaksanaan eksekusi pada hari itu juga sehingga Termohon eksekusi tidak dapat melakukan upaya bantahan/perlawanan sebagai langkah hukum yang diberikan undang-undang kepada Termohon Eksekusi,” Pungkasnya.
Yosef menjelaskan Ketua Pengadilan sebagai orang yang paling berwenang melakukan elsekusi ternyata secara sadar telah menghalangi atau menghambat terciptanya keadilan bagi para pihak. Ketua pengadilan cenderung tidak adil dan berpihak bahkan tidak profesional. Apalagi eksekusi dilakukan dengan meratakan sebuah kampung dengan segala isinya termasuk kuburan2 warga. Akibatnya banyak orang tidak punya rumah dan terpaksa mengungsi ke rumah keluarga.
Lamjutnya Termohon Eksekusi telah melakukan upaya hukum Perlawanan/Bantahan yang terdaftar di Pengadilan Negeri Ende dengan No. 04/Pdt.Bth/2022/PN. End. Perlawanan dilakukan karena dalam kasus ini ada 2 putusan inkrah yang berbeda yang menunjuk pemilik tanah yang berbeda. Semestinya Pengadilan menunggu putusan inkrah upaya Perlawanan untuk menguji putusan mana yang benar dan siapa pemilik tanah Detukombo yang sebenarnya. Yang menjadi problem kemudian, bila upaya perlawanan yang dilakukan oleh Termohon Eksekusi menang dan dapat membuktikan kepemilikan atas tanah Detukombo tersebut maka bagaimana dengan kampung dan kuburan yang telah diratakan dengan tanah. Siapa yang bertanggungjawab atas kerugian riil dan emosional dari Termohon Eksekusi. Tentu saja beban diberikan kepada Para Pemohon Eksekusi untuk mengganti kerugian tersebut dan pengadilan harus ikut bertanggung jawab atas tindakan eksekusi yang terburu-buru, tidak profesional dan cacat hukum tersebut. Hal ini perlu menjadi perhatian Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial atas perilaku hakim yang tidak profesional. Dan juga, pihak kejaksaan harus ikut lidik dan sidik bila diduga ada keterlibatan uang pelicin di dalam eksekusi tersebut.
Oleh karena sudah ada upaya hukum Perlawanan atas Eksekusi sebagaimana terdaftar di Pengadilan Negeri Ende, maka kami meminta semua pihak termasuk kepada Para Pemohon Eksekusi untuk tidak melakukan hal apapun di atas tanah eksekusi tersebut karena secara hukum otomatis obyek sengketa menjadi statusquo.