GESSTUR.ID|JAKARTA, – Indonesia memasuki era baru kepemimpinan dengan akan beralihnya tampuk kekuasaan dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden Prabowo Subianto. Di tengah transisi ini, keamanan maritim Indonesia tetap menjadi sorotan utama yang membutuhkan perhatian mendesak. Data terbaru dari ICC International Maritime Bureau mengungkap bahwa sepanjang tahun 2023 terjadi 55 kasus perompakan di wilayah perairan Indonesia, di mana 38 kasus di antaranya terjadi di Selat Singapura—jalur perdagangan maritim tersibuk di dunia—dan 17 kasus lainnya tersebar di perairan domestik Indonesia. Laporan ini menegaskan bahwa keamanan maritim nasional masih berada dalam kondisi rentan.
DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar, seorang pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), menyatakan bahwa peningkatan kasus perompakan ini mengindikasikan lemahnya sistem pengawasan dan manajemen keamanan laut di Indonesia.
“Selat Singapura merupakan jalur perdagangan utama yang sangat rentan terhadap aksi perompakan. Ketidakmampuan sistem keamanan kita dalam mengatasi tantangan di lapangan memperlihatkan betapa sulitnya mengangkat Indeks Keamanan Maritim Indonesia ke level yang lebih baik. Kondisi ini menjadi salah satu alasan yang membuat investor internasional berpikir dua kali sebelum mengucurkan investasinya ke sektor maritim kita,” ujar Capt. Marcellus di Jakarta.
Menurut data terbaru dari Global Maritime Crime Programme, perompakan dan kejahatan di laut menyebabkan kerugian ekonomi global mencapai lebih dari USD 15 miliar setiap tahunnya. Kejahatan laut ini tidak hanya berdampak pada stabilitas ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia tetapi juga menimbulkan kekhawatiran atas keamanan perdagangan global yang semakin meningkat.
Capt. Marcellus mengidentifikasi bahwa keterbatasan anggaran dan kurangnya alokasi dana untuk sektor keamanan maritim menjadi akar masalah yang perlu segera diatasi oleh pemerintah.
“Tanpa dukungan anggaran yang memadai dan keputusan cepat mengenai pembentukan entitas Coast Guard Indonesia yang kuat, baik itu Bakamla atau KPLP, upaya untuk memperkuat pengawasan maritim akan selalu terhambat,” jelasnya.
Ia menyoroti bahwa anggaran Bakamla saat ini hanya sekitar 0,2% dari total anggaran pertahanan Indonesia, jauh dari cukup untuk menghadapi tantangan keamanan laut yang semakin kompleks.
Ia menambahkan, kehadiran Coast Guard yang kuat bukan sekadar sebagai penegak hukum tetapi juga sebagai simbol kedaulatan maritim yang mampu meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional.